Timeline sudah mulai reda sejak beberapa hari yang lalu
banyak beredar berita tentang Markis Kido, salah satu atlit bulu tangkis
favorit saya sejak SD, terkait 'cekcok' dengan bupati Sidrap di GOR
Sidrap. Bukan main nih bang Markis Kido.
Saya jadi ingat tahun 2009 lalu (saat itu saya masih kelas 8
SMP). Mendengar kabar atlit bulu tangkis nasional akan bermain di GOR
Sudiang Makassar, saya bersama teman-teman saya yang juga ngefans berat
dengan atlit bulu tangkis, sebut saja seperti
Taufik Hidayat, Lilyana Natsir, Hendra Setiawan, Pia Zebadiah, Greysia
Polii, Vita Marissa, Simon Santoso (OMG Simoon!), dan tentu saja Markis
Kido. Kami sampai rela-relain naik angkot ke GOR Sudiang. Jarak itu
sudah jauuuh sekali untuk ukuran kami. Beruntung
ada salah satu teman sekelas kami, Widya, yang tinggal di Sudiang.
Demi memuaskan hasrat kami bertemu idola (terutama Taufik
Hidayat! Sangking ngefansnya, nama belakangku sering saya pelesetkan
menjadi namanya, Ekha Nurul Hidayat), hari minggu pagi saya ditemani
Iin, Kiki, Ikha, dan Tisha berkumpul di jembatan
penyeberangan di Jalan Urip Soemohardjo, mengambil pete-pete, sebutan
lokal untuk angkot, menuju kawasan Daya. Kami berencana ke rumah Widya
terlebih dahulu.
Pete-pete terus melaju menjauh entah kemana. Karena di
antara kami berlima, belum ada yang pernah naik pete-pete ke Daya, kami,
remaja tanggung 13 tahun, sempat suudzon akan dibawa kabur. Apalagi di
atas pete-pete cuma ada kami berlima dan pak
sopir. Kecurigaan kami makin menjadi saat pete-pete memasuki daerah
sepi yang kanan-kiri hanya hutan dan bangunan-bangunan tua. Kami berlima
saling berpandangan dan berbisik.
"Kok lewat hutan-hutan gini ya?"
"Gawat kalau sampai kita dibawa kabur"
"Gawat kalau sampai kita dibawa kabur"
Kecurigaan kami semakin akut karena semenjak kami naik, pete-pete ini cuma sekali ngetem menunggu penumpang lain. Tapi penumpangnya sudah turun beberapa kilometer sebelumnya.
Saya pun memberanikan diri bertanya pada pak sopirnya.
"Pak, kita sudah di daerah mana, ya? Sudiangnya sudah dekat gak, Pak?",
yang ditanya diam sebentar sebelum mulai menjawab, "Iya ini sebentar
lagi mau sampai, di Perumahan xxx toh? Lewat jalan
pintas ini, buru-buru mau jemput penumpang carteran", jelas pak sopir.
Kami cuma ngangguk-ngangguk seperti mainan di dasbor mobil. 10 menit
kemudian pete-pete menepi di depan gerbang masuk perumahan. Fyuh,
akhirnya sampai juga.
Tapi hal itu masih belum membuat kami lega karena sesaat
setelah kami turun dengan sangat tergesa-gesa (masih parno bakal
diculik), kami setengah berlari masuk ke gerbang perumahannya Widya,
teriakan pak sopir menghentikan kami. Deg deg. Mungkinkah
pak sopir berubah pikiran, menyuruh kami naik kembali, membawa kabur
dan minta uang tebusan ke orangtua kami? Ya ampun, perutku langsung
mules memikirkan hal yang tidak-tidak akan menimpa kami.
"Woy! Ongkosnya kurang"
Kami mematung dan saling melirik. Dengan sedikit mendengus
kami membayar sesuai permintaan pak sopir. Sedikit keterlaluan, soalnya
siapa suruh lewat jalan pintas yang bukannya lebih dekat tapi memutar
jauh. Ah sudahlah. Kami pun segera mencari
rumah Widya sebelum ke GOR Sudiang. Sudah tak sabar ingin melihat
Taufik Hidayat. Realita kadang tak linear dengan ekspektasi.
Meski tak sempat bertemu Taufik Hidayat, namun kami cukup senang bisa melihat atlit nasional yang lain main beberapa set sebelum akhirnya kami pulang.
Ohya, sebenarnya tahun ini ada "kesempatan" lagi untuk menyaksikan atlit nasional andalan, tepatnya 14-19 Maret akan ada Djarum Sirnas (Sirkuit Nasional) Sulawesi Open seri II, di GOR Sudiang. Arg pengen banget kesana, tapi sama siapaa haha