MISTERI SOLITER
Filsafat dalam Setumpuk Kartu Remi
Terjemahan
dari The Solitaire Mystery
(judul asli
Kabalmysteriet dalam bahasa Norwegia)
Karya
Jostein Gaarder
Mizan
Publishing House
Cetakan 1,
Januari 2016
Ilustrator
Isi: Hilde Kramer
Desainer Sampul:
Andreas Kusumahadi
Hans Thomas , 12 tahun, bersama sang ayah melakukan
perjalanan ke Yunani untuk mencari sang ibu. Perjalanan panjang itu diwarnai
kejadian-kejadian aneh. Seorang kurcaci memberi Hans Thomas sebuah kaca
pembesar, seorang tukang roti memberikan sekerat roti berisi buku mini yang
berkisah tentang pelaut yang terdampar di sebuah pulau; setumpuk kartu remi
yang tiba-tiba hidup, dan seorang Joker yang nyaris tahu segala.
Siapakah mereka? Dan ke manakah mereka akan membawa Hans
Thomas? Misteri Soliter adalah bacaan yang ditulis khusus bagi mereka yang
ingin belajar filsafat tanpa harus
berkerut kening. Kisah di dalam kisah, karakter yang mungkin nyata, mungkin
pula tidak, masa lalu dan masa depan. Sebuah kisah yang menyajikan teka teki dan
eksplorasi kehidupan yang memukau.
Seperti kata
Socrates, satu-satunya hal yang kuketahui adalah bahwa aku tidak tahu apa-apa. –Hans Thomas
Sangat jelas terpampang nyata dari
judulnya: Misteri
Soliter: Filsafat dalam setumpuk kartu remi, bahwa buku ini membahas
misteri di balik permainan soliter dengan sedikit banyak berfilosofis dari
sudut pandang Hans Thomas, anak laki-laki berusia 12 tahun.
Hans Thomas melakukan perjalanan
dari Norwegia menuju Yunani untuk mencari ibunya yang katanya sedang mencari
jati diri, namun tersesat dalam dunia mode. Kenapa ibunya harus ke Yunani dan
bukannya ke Paris, London, atau Amerika jika hanya ingin menjadi model? Entah.
Sampai akhir cerita hal ini masih ngeblur (bahasanya -_-)
"Saranku
untuk semua orang yang berusaha menemukan jati diri adalah tetaplah tinggal di
tempatmu sekarang. Kalau tidak, kau dalam bahaya besar kehilangan dirimu
selamanya." –hal.26
Well, demi mencari sang ibu, Hans
Thomas dan Pa melakukan perjalanan mobil melintasi berbagai negara sebelum tiba
di Athena. Sepanjang membaca novel ini, saya sangat suka dengan kedekatan
antara Hans Thomas dan ayahnya. Selama perjalanan mereka sesekali “berhenti
untuk merokok”, bayangin bawa mobil ribuan kilometer cuy.
Kegiatan berhenti untuk merokok
bukan perhentian yang biasa bagi mereka. Karena saat sudah menyalakan sebatang
rokok dan melihat pemandangan menakjubkan dari negara yang dilewatinya, Pa akan
mulai berfilsafat. Dan sepertinya, Hans Thomas yang masih berusia 12, mulai
berpikir seperti ayahnya.
*OOT: oke saat mengetik sampai disini, saya tiba-tiba teringat
dengan filmnya Jason Reitman yang judulnya Thank You For Smoking. Lain kali
saja saya tulis, now focus on Hans Thomas and his father. Also his journey.
Also his amazing book.
Saat sudah mencapai perbatasan
Swiss, Hans Thomas dan Pa singgah di desa Dorf. Bukan karena ingin, tapi
seorang kurcaci mengarahkan mereka ke sana. Sebelumnya kurcaci itu memberikan
sebuah kaca pembesar kepada Hans Thomas.
“.. Sungguh, Anakku, kau akan memerlukannya di Dorf. Karena kuberi
tahu: begitu melihatmu, aku tahu kau akan memerlukan sebuah kaca pembesar kecil
dalam perjalananmu.”
Kenapa Hans Thomas memerlukan
sebuah kaca pembesar seperti yang kurcaci itu katakan? Apa yang sesungguhnya
sedang menanti Hans Thomas di tengah perjalanannya?
Kisah di dalam kisah
Saya membaca buku ini selama enam
hari, dicicil sedikit demi sedikit. Maklum sih saat itu adalah bulan puasa,
jadi orang dirumah sibuk dengan katering nasi kotak. Pukul empat sore sampai
sekitar pukul sembilan malam saya sibuk ngantor (kantor apa kira-kira yang
beroperasi sore hingga malam hari? I dare you to guess).
Sebenarnya buku ini lebih asik
dibaca sekali langsung selesai. Karena buku ini berisikan kisah di dalam kisah.
Si anu menceritakan anu kepada si anu yang bercerita pada anu selanjutnya.
Cerita dalam cerita sampai empat tingkat gaes. Empat.
Bisa bertambah jadi cerita lima
tingkat jika kita mau menambahkan penulisnya, Jostein Gaarder yang bercerita
tentang Hans Thomas yang membaca cerita berantai itu. Etapi yaudah sih, ide
doang, gak usah diambil pikiran. Serius om, saya cuma bercanda.
Cuplikannya
kira-kira sebagai berikut (bukan spoiler kok)
- Ludwig menulis buku roti kadet dan bercerita tentang Albert.
- Albert bercerita tentang pengalaman Hans si tukang roti yang pernah jadi pelaut yang sempat terdampar di pulau ajaib
- Hans si tukang roti yang bercerita tentang Frode yang tinggal di pulau ajaib yang ternyata adalah .. no spoiler.
- Frode yang curhat kepada Hans si tukang roti perihal masa lalunya.
See? Memang
lebih baik untuk tidak terlalu lama untuk jeda membaca.
Seru ya kalau di kehidupan nyata ada cerita yang secara private
diwariskan turun temurun kepada generasi yang lebih muda.
“Aku menulis
dalam bahasa Norwegia agar kau mengerti, tapi juga agar penduduk Dorf tidak
bisa membaca kisah tentang para kurcaci. Kalau itu sampai terjadi, rahasia
pulau ajaib akan menjadi sensasi. Tapi, sensasi selalu sama dengan sepotong
berita, dan sepotong berita tidak pernah bertahan lama. Berita merebut
perhatian hanya dalam waktu sehari, lalu dilupakan. Tapi, kisah para kurcaci
tidak pernah boleh tenggelam dalam kilau berita sesaat. Lebih baik hanya satu
orang yang tahu rahasia para kurcaci, daripada semua orang tahu tapi lalu
melupakannya.”
Trivia: Penting Gak Penting
Buku ini sudah saya idam-idamkan
sejak Februari, Alhamdulillah kesampaian tiga minggu yang lalu pas bulan puasa.
Belinya di Gramedia MaRI, ditemani kedua sepupu saya, Zizu dan Aulia. Kami tiba
disana sekitar pukul delapan, dan rame, maklum sih ya sabtu malam. Ternyata
rame karena ada eventnya Telkomsel dan guest starnya MARCEL SIAHAAN! Tuhan memang satu, kita yang tak sama,
haruskah aku lantas pergi, meski sama-sama suka beng beng~
Apa kau percaya, sebuah buku akan
memberikan kesan berbeda tergantung suasana dan mood saat kau membacanya?
Mm, mungkin saja tidak. Atau
mungkin karena saya saja yang sedang labil? hukhuk
Saya membaca buku Misteri Soliter
selama enam hari dan sepertinya ada berbagai gejolak rasa tiap kali
saya berhenti membaca lalu mulai membaca lagi lanjutannya.
Suatu saat saya lumayan
sentimentil, tiba-tiba merasa Hans Thomas dan Pa (ayahnya) adalah laki-laki
yang terlalu banyak mengoceh. Agak menyebalkan. Mereka biasa berbicara apa yang
mereka pikirkan, sebut saja mereka berfilosofis, tentang apapun –terutama
tentang hidup, dunia, pencarian jati diri, dan kartu remi.
Kau
lihat? Kita sungguh sangat pintar, membuat bom atom dan mengirim roket ke
bulan. Tapi, tak seorang pun di antara kita bertanya dari mana kita berasal.
Kita ada di sini begitu saja, menempati tempat kita.” –hal.41
Ya. Bagaimana kau bisa
memutuskan orang lain juga tidak berpikir atau mempunyai pendapat yang sama
denganmu bahkan saat kau tidak mengenal orang lain? Sejak SMP saya mengenang
apa yang dikatakan Harper Lee dalam bukunya To Kill a Mockingbird, “Kau tidak akan pernah bisa memahami
seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya, hingga kau
menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya”.
Itu aja sih.