Saya menemukan buku Dewey: Kucing perpustakaan kota kecil
(Vicki Myron) ini di salah satu rak –yang sepertinya cukup terpencil
untuk ukuran bacaan ringan) sedang buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Pramoedya Ananta Toer) entah saya temukan di rak mana, begitu
keluar dari perpustakaan tau-tau sudah bawa pulang 2 buku.
Saat itu, seperti biasa saya nongkrong di parkiran
perpustakaan, menunggu pergantian jam kuliah, kalau tidak salah (berarti benar
dong ya) awal semester 3. Wait.. itu kan SEPTEMBER TAHUN LALU! Iya, iya saya tahu, biasa aja dong, gausah
ngecapslock.
Peminjaman buku di perpustakaan kampus adalah 10
hari dan lewat dari batas waktu akan dikenakan denda Rp1,000 per hari –kecuali
masa peminjamannya diperpanjang. Kira-kira berapa ya denda untuk keterlambatan
10 bulan?
Terbesit rasa bersalah karena menahan koleksi
perpustakaan terlalu lama –padahal bukunya cuma 2 hari selesai dibaca. Apakah
selama 10 bulan meminjam buku itu saya baca berulang-ulang? Of course not. Bayangkan jika ada orang
lain diluar sana yang mencari buku tersebut?
Berdasarkan
hal tersebut saya menyimpulkan yang telah saya lakukan
adalah jahat *sambil memberi tatapan Dian Sastro
adalah jahat *sambil memberi tatapan Dian Sastro
Mari kita bayangkan jika seluruh mahasiswa
pengunjung perpustakaan melakukan hal yang sama seperti saya, maka muncullah
beberapa persoalan. Pertama seperti yang saya singgung diatas, ketidakadilan
hak sesama pemustaka dalam mengakses buku, persoalan kedua adalah terganggunya
fungsi utama perpustakaan sebagai ruang penyimpanan buku sekaligus penyedia
ruang baca. Seperti itu saudara saudari.
Jadi tinggal bagaimana kesadaran masing-masing
aja sebagai sesama pemustaka. Termasuk
kamu Ekha! Iya iya, masuk semester 5 nanti bukunya dibalikin. Wait, itu berarti bukunya masih akan
tertahan dong sampai bulan ke 12? Sigh.
98 hari denda 50.000 rupiah
Sebenarnya itu bukan kejadian pertama. Tahun
lalu saya juga telat mengembalikan buku perpustakaan, selama 98 hari. Semakin
membenarkan kalau saya bukan pemustaka yang baik. Alasannya saya sibuk final
semester 2, pas finalnya kelar, eh lupa dikembalikan dan buku itu akhirnya
tertahan lagi selama libur semester, hampir 3 bulan lamanya.
Karena takut diomeli sama petugasnya, saya pergi
ditemani Risa Saraswati Sabirah. Ada 3 petugas di bagian peminjaman
buku, saya pilih yang mukanya paling teduh seteduh lagu-lagunya Payung Teduh
kalau bisa lah –tips: sebisa mungkin hindari wajah jutek!
Dan untung saja petugas wanita yang paling ujung
cukup ramah. Meski sempat ditanya-tanya kenapa lama mengembalikan buku, saya
menjawab dengan nada minta dikasihani, “Beberapa hari sebelum libur semester,
perpustakaannya cepat tutup jadi saya
tidak sempat kak”, Risa disamping saya
cengar cengir gaje.
Meski dengan wajah yang
lebih memelas dari kucing minta makan, saya tetap kena denda. “98 hari ya dek,
dendanya seribu per hari”, ah bayangkan Rp98.000 bisa untuk hidup berapa hari?
“Yaudah kamu bisa bayar 50.000 aja dek. Lain waktu kembalikan bukunya sesuai
jadwal ya, jangan banyak alasan”. Saya sumringah, meski 50 ribu rupiah masih
terasa banyak, itu salah saya sendiri sih.
Mohon jangan ditiru ya
mantemans.
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
(Pramoedya Ananta Toer)
Sumber gambar klik disini |
Sebuah
buku adalah sebuah kesaksian. Dan buku ini adalah kesaksian tentang peristiwa
genosida kemanusiaan paling mengerikan di balik pembangunan Jalan Raya Pos atau
yang lebih dikenal dengan Jalan Daendels; jalan yang membentang 1000 kilometer sepanjang utara pulau Jawa, dari
Anyer sampai Panarukan. Inilah satu dari beberapa kisah tragedi kerjapaksa
terbesar sepanjang sejarah di Tanah Hindia.
Pramoedya
Ananta Toer lewa buku ini menuturkan sisi paling kelam pembangunan jalan yang
beraspalkan darah dan airmata manusia-manusia Pribumi. Pemeriksaan yang cukup
detail dan bercorak tuturan perjalanan ini, membiakkan sebuah ingatan yang
satire, bahwa kita adalah bangsa kaya tapi lemah. Bangsa yang sejak lama
bermental diperintah oleh bangsa-bangsa lain?
Satu lagi
buku yang menguak sejarah tragedi terbesar, terkoyaknya kita sebagai sebuah
bangsa yang kawasannya luas, kaya, tapi selalu kalah dalam segala hal.
Terus terang buku ini adalah buku Pramoedya
Ananta Toer yang pertama saya baca. Dan lagi saya jujur, buku ini terlalu berat
untuk saya hanyut ke dalamnya, meski berhasil membaca tuntas 136 halaman isi
(mulai halaman 5 - 141).
Bisa jadi karena buku ini diluar genre bacaan
saya semenjak smp (membaca buku ini mengingatkan saya akan pelajaran sejarah di
bangku sd dan smp dulu –karena saat smk tidak ada mapel sejarah). Atau bisa
jadi saya terlalu memaksakan diri untuk mendalami buku ini dengan otak
pas-pasan.
Bisa jadi. Eh saya setuju di bagian “terlalu
memaksakan diri” tadi. Saya penganut sekte
tidak-baik-jika-terlalu-memaksakan-diri. Seperti
memaksakan perasaan kamu ke aku contohnya?
Dewey: Kucing Perpustakaan Kota Kecil (Vicky Myron)
Sumber gambar klik disini |
Bagaimana
mungkin seekor kucing buangan mengubah sebuah perpustakaan kecil menjadi daya
tarik wisata, memberi inspirasi penduduk sebuah kota, mempersatukan warga di
seluruh kawasan dan pelan-pelan menjadi terkenal di seluruh dunia?
Kisah
Dewey si kucing malang dimulai dengan cara paling menyedihkan. Umurnya baru
beberapa minggu ketika pada malam terdingin tahun itu dia dimasukkan ke sebuah
kotak pengembalian buku perpustakaan umum Spencer, Iowa, oleh orang tak
dikenal. Dia ditemukan keesokan harinya oleh direktur perpustakaan, Vicki
Myron, orangtua tunggal yang berhasil bertahan dari kehilangan tanah pertanian,
penyakit kanker payudara, dan suami yang kecanduan minuman keras. Dewey
kemudian berhasil mencuri hatinya dan hati para pegawai perpustakaan, serta
menaklukkan mereka semua dengan kasih sayang.
Kesan utama setelah
membaca buku ini adalah: saya sangat iri.
Sangat.
Iri.
Iri pada Spencer, kota
kecil di Iowa, Amerika Serikat. Karena mereka punya perpustakaan yang
menyenangkan. Karena mereka punya Dewey.
Karena perpustakaan mereka sangat dekat dengan anak-anak.
Setia Karena Nyaman
Ngomong-ngomong fungsi perpustakaan sebagai
penyedia ruang baca, penyebab krusial (wih bahasanya bu) orang-orang memilih meminjam buku untuk dibaca
diluar perpustakaan, bisa jadi, karena merasa kurang nyaman berada
di perpustakaan. *personal opinion*
PENDAPAT JUJUR sebagai
pengunjung perpustakaan kampus, saya tak pernah berada di perpustakaan lebih
dari tiga jam. Alasan utamanya karena lighting alias pencahayaan di meja baca,
kadangkala juga alasan meja dan kursi di perpustakaan selalu penuh (Ya kali
kita tahan membaca berjam-jam sambil berdiri).
Cuma itu sih, jadi bukan
karena koleksi perpustakaan UIN Alauddin Makassar yang kata banyak mahasiswa
dan alumni cukup kurang memadai, meski saya juga tidak menampik hal tersebut. Oke kartu sudah dibuka di atas meja gaes.
Tapi kita semua tahu UPT
Perpustakaan sedang gencar melakukan perbaikan saat ini. Saya sudah tidak sabar
menyambut perpustakaan kita di tahun perkuliahan yang baru.
Kalau
saya pikir lagi, apalah saya berbicara seperti ini. Mengembalikan buku
perpustakaan tepat waktu saja susahnya minta ampun :(
Betul-betul
apalah saya ini, cuma buih-buih Coca Cola di canteng putih.