Mata yang
Enak Dipandang
Ahmad Tohari
Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama 2013
“Buku
ini merupakan kumpulan lima belas cerita pendek Ahmad Tohari yang tersebar di
sejumlah media cetak antara tahun 1983 dan 1997.
Seperti novel-novelnya, cerita-cerita pendeknya pun memiliki ciri khas. Ia selalu mengangkat kehidupan orang-orang kecil atau kalangan bawah dengan segala lika-likunya.
Ahmad Tohari sangat mengenal kehidupan mereka dengan baik. Oleh karena itu, ia dapat melukiskannya dengan simpati dan empati sehingga kisah-kisah itu memperkaya batin pembaca.”
Seperti novel-novelnya, cerita-cerita pendeknya pun memiliki ciri khas. Ia selalu mengangkat kehidupan orang-orang kecil atau kalangan bawah dengan segala lika-likunya.
Ahmad Tohari sangat mengenal kehidupan mereka dengan baik. Oleh karena itu, ia dapat melukiskannya dengan simpati dan empati sehingga kisah-kisah itu memperkaya batin pembaca.”
Baca
Juga: August to October Read-list
Seperti yang sudah disebutkan, buku ini berisi 15 cerpen Ahmad
Tohari yang pernah dimuat di media cetak. Dan judul buku ini, Mata yang Enak Dipandang diambil dari salah satu cerpen di dalamnya.
Daftar
cerpen pengisi:
Mata yang
Enak Dipandang (Hal. 7)
Bila Jebris
Ada di Rumah Kami (Hal. 19)
Penipu yang
Keempat (Hal. 29)
Daruan (Hal.
39)
Warung
Penajem (Hal. 51)
Paman Doblo
Merobek Layang-layang (Hal. 63)
Kang Sarpin
Minta Dikebiri (Hal. 75)
Akhirnya
Karsim Menyeberang Jalan (Hal. 87)
Sayur
Bleketupuk (Hal. 97)
Rusmi Ingin
Pulang (Hal. 107)
Dawir,
Turah, dan Totol (Hal. 117)
Harta
Gantungan (Hal. 131)
Pemandangan
Perut (Hal. 143)
Salam dari
Penyangga Langit (Hal. 155)
Bulan Kuning
Sudah Tenggelam (Hal. 165)
Mata
yang Enak Dipandang
“Ah, betul!
Itu dia. Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa, kamu betul. Mata orang yang
suka memberi tidak galak. Mata orang yang suka memberi, kata teman-teman yang
melek, enak dipandang. Ya, kukira betul, mata orang yang suka memberi memang
enak dipandang.” –hal.14
Tarsa ingat,
memang sulit mencari orang yang matanya enak dipandang dalam kereta kelas satu.
Melalui jendela ia sering melihat berpasang-pasang mata di balik kaca tebal
itu; mata yang dingin seperti mata bambu, mata yang menyesal karena telah
tertumbuk pada sosok seorang kere picek dan penuntunnya, mata yang bagi Tarsa
membawa kesan dari dunia yang amat jauh. –hal.15
Aku kemudian
penasaran setelah mendengar pendapat pengemis tunanetra, Mirta dan penuntunnya,
Tarsa. Bagi pengemis yang tiap harinya bergumul di antara ribuan pasang mata
manusia –makhluk sesamanya– ada perbedaan yang mereka temukan dalam cara mereka
memandang. Manusia sama yang selalu melihat berbeda dan juga selalu ingin
terlihat berbeda padahal sama saja.
Lalu aku
penasaran lagi. Bagaimana aku terhadap orang lain? Apa aku sudah terlihat
menyenangkan? Atau paling tidak, apa ada yang merasa mataku layak untuk dipandang?
Trivia
Membaca
kelima-belas cerpen di buku ini kemudian mengobati rasa rinduku entah pada apa.
Sejak kecil aku sangat menggemari cerpen ataupun cerbung dari koran atau
majalah lama –sebut saja– Femina, Kartini, Kompas, termasuk Bobo (tentu saja), entah
penulisnya Ahmad Tohari ataupun bukan –mungkin karena masih kecil aku malah gak
merhatiin penulisnya siapa– aku sangat menyukai gaya tulisan yang terbit
sekitaran tahun 80-90an tersebut, ada khasnya tersendiri.
Buku ini
sebenarnya sudah lama ingin sekali aku baca, tapi tidak pernah kesampaian beli.
Padahal novel ini hampir selalunya kulewati di deretan rak buku fiksi. Tapi
akhirnya baca novel ini. Dipinjamkan dia, malah pakai acara dibawakan ke
kelasku segala. Hahaha.
Kenapa pula
buku ini? “Mungkin karena baginya kaupunya mata yang enak dipandang”, itu kata
Rika Patikasari. Yaampun Rikaaaa, untung aku gak lagi mellow, jadi gak baper
baper amat.
Di
antara kelima-belas cerpen di buku ini, paling suka yang mana?
Aku? Semuanya!
Bagiku semua cerpen ini sangat indah sampai aku membacanya berulang-ulang. Tapi
ada beberapa tulisan yang sangat menyentuh dan terbawa pikiran hingga beberapa
waktu. Di antaranya Mata yang Enak Dipandang, Akhirnya Karsim Menyeberang
Jalan, serta Bulan Kuning Sudah Tenggelam.