Pertama-tama
aku ingin berterimakasih pada leluhur kita yang meracik kuah segar, bihun, toge
dan sayuran lain kemudian dikawinkan dengan ubi goreng, dibubuhi goreng kacang, dan kadang disertai irisan daging. Hei jangan lupa, telur rebus! Terima kasih juga kepada seseorang -ibuku, yang
akhirnya menjejalkan rasa sedap itu kepada aku, yang dalam urusan makan sebenarnya
sangat selektif, tapi sebab perihal makan yang kusejajarkan dengan proses respirasi
(keduanya kita lakukan untuk terus hidup, kan?) aku harus mengenyampingkan
egoku itu dan selama itu baik, bismillah dan makan saja.
Jika saja
aku makan sop ubi, sedang di meja yang sama teronggok cantik seporsi gado-gado,
gado-gado itu mestilah merasa terdiskriminasi. Aku menikmati sop ubi bertoge
itu, sedang gado-gado pun bertoge tapi tidak pernah mau kusentuh. Sedikit merasa bersalah sih.
Apa
jadinya dunia yang kukenal jika sop ubi tidak pernah ada?
Mungkin
tidak banyak pengaruhnya. Kalian tahulah ada begitu banyak resep masakan
berbahan dasar singkong di dunia ini, meski jika dipersempit di kota Makassar
saja. Ada banyak sekali bung. Singkong tidak akan menganggur meski resep sop
ubi bahkan tidak pernah ada.
Tapi
bagaimana jadinya dengan (kita anggap saja ada) 1000 warung sop ubi di kota
ini? Apa mereka kemudian akan tetap membuka warung, menjajakan masakan berbahan
dasar singkong lainnya? Bisa jadi perkedel singkong, putu mayang, poteng, bolu singkong, atau sekadar singkong goreng. Ah. Sepertinya jangan.
Lagipula
aneh sekali mempertanyakan hal tersebut.
Mempertanyakan perihal eksistensi sop
ubi.
Di telingaku sama saja kau pertanyakan apa jadinya jika aku tidak
mengenalmu. Pertanyaan gila. Sebenarnya tidak gila juga. Hanya aku malas
berpikir. Ini pasti karena aku lapar. Berhenti bertanya, sekarang temani aku ke pasar, aku ingin membeli singkong dan sebungkus bihun.