Pagi-pagi betul ponselku sudah ribut dengan pemberitahuan pesan masuk. Segera kucek, grup obrolan daring angkatan sudah berseliweran kekhawatiran mahasiswa-mahasiswa semester akhir mengenai informasi diliburkannya kegiatan perkuliahan pasca bentrokan dua hari berturut-turut. Kabar diliburkannya perkuliahan sepanjang pekan ini sepertinya menjadi headline pagi yang hangat dengan tiga macam reaksi, paling tidak yang bisa kita lihat dari lini whatsapp story.
Bagi maba, statusnya tidak jauh dari perasaan senang akhirnya mendapat hari libur dadakan yang lamanya cukup untuk pergi jalan-jalan bahkan pulang kampung kilat. Reaksi yang kedua adalah kesal, kecewa, dan tidak terima. Dikasih libur padahal tidak minta. Mahasiswa semester akhir gitu lho, lagi sibuk-sibuknya bimbingan skripsi dan mengurus berkas. Ke kampus saja belum tentu ketemu dosen pembimbingnya, apalagi kalau tidak ke kampus. Lagipula, yang bentrok kan fakultas lain, ya, nggak, sis?
Reaksi ketiga adalah reaksi selain dari yang di atas. Keputusan pimpinan kampus yang meliburkan perkuliahan atas permintaan Kapolresta (seperti yang disebutkan dalam pesan siaran) bukankah terlihat seperti kebuntuan pihak kampus untuk menghadapi dan menyelesaikan konflik destruktif yang dipicu oleh persoalan remah-remah chitato. Main futsal antar jurusanji bede nabilang orang, bagaimanami itu kalau pertandingan mewakili negara. Kalau sekadar untuk menunjukkan superior maskulinitas, kok, gitu amat.