Pagi-pagi betul ponselku sudah ribut dengan pemberitahuan pesan masuk. Segera kucek, grup obrolan daring angkatan sudah berseliweran kekhawatiran mahasiswa-mahasiswa semester akhir mengenai informasi diliburkannya kegiatan perkuliahan pasca bentrokan dua hari berturut-turut. Kabar diliburkannya perkuliahan sepanjang pekan ini sepertinya menjadi headline pagi yang hangat dengan tiga macam reaksi, paling tidak yang bisa kita lihat dari lini whatsapp story.
Bagi maba, statusnya tidak jauh dari perasaan senang akhirnya mendapat hari libur dadakan yang lamanya cukup untuk pergi jalan-jalan bahkan pulang kampung kilat. Reaksi yang kedua adalah kesal, kecewa, dan tidak terima. Dikasih libur padahal tidak minta. Mahasiswa semester akhir gitu lho, lagi sibuk-sibuknya bimbingan skripsi dan mengurus berkas. Ke kampus saja belum tentu ketemu dosen pembimbingnya, apalagi kalau tidak ke kampus. Lagipula, yang bentrok kan fakultas lain, ya, nggak, sis?
Reaksi ketiga adalah reaksi selain dari yang di atas. Keputusan pimpinan kampus yang meliburkan perkuliahan atas permintaan Kapolresta (seperti yang disebutkan dalam pesan siaran) bukankah terlihat seperti kebuntuan pihak kampus untuk menghadapi dan menyelesaikan konflik destruktif yang dipicu oleh persoalan remah-remah chitato. Main futsal antar jurusanji bede nabilang orang, bagaimanami itu kalau pertandingan mewakili negara. Kalau sekadar untuk menunjukkan superior maskulinitas, kok, gitu amat.
Bentrok yang terjadi senin siang dan kemudian dilanjutkan selasa siang cukup menyisakan kerusakan yang tidak main-main. Bayangkan. Beberapa kendaraan yang terparkir di lokasi menjadi korban. Fasilitas kampus yang kita cintai dan kita harapkan untuk meningkat seiring semakin mahalnya biaya UKT, justru dibuat makin hancur. Mau diketawai, tapi miris. Tapi lucu memang, gimana, dong?
Kabar terkini yang beredar, beberapa mahasiswa mengalami luka bahkan salah seorang mahasiswa harus terbaring koma karena terkena lemparan batu [1]. Lempar-lempar batu ini ceritanya. Apa lagi yang mereka harapkan kalau bukan untuk melukai.
Menarik untuk dicermati bahwa bentrokan seperti ini bukan kali pertama terjadi di tempat yang mengklaim dirinya sebagai kampus peradaban. Jika ditilik selama penulis kuliah di UIN Alauddin Makassar, 2014, 2015, 2016, 2017, dan tahun ini 2018, setiap tahun bisa dibilang dan ada yang terjadi lebih dari sekali dalam satu tahun. Setidaknya sudah terjadi lebih dari 5 kali. Waw. Padahal pada dasarnya, jumlah sekian itu tidak semestinya terjadi mengingat sejak 2012, UIN Alauddin Makassar sudah punya langkah preventif untuk persoalan tersebut (baca: bentrokan dan semacamnya). Langkah preventif ini dikemas dalam bentuk CBT. Asumsi saya, kalian pastinya sudah tahu CBT itu apa, tapi biarkan saya menjelaskan kembali kenapa dan untuk apa CBT ini dihadirkan.
Rektor Prof. Dr. H. A. Qadir Gasing H.T.,M.S mencanangkan CBP (Character Building Program yang terdiri dari Pusat Intensifikasi Bahasa Asing (PIBA), Baca Tulis Qur’an (BTQ), dan Character Building Training (selanjutnya disingkat CBT)[2]. Jadi, bisa dibilang sebagai mahasiswa UIN Alauddin Makasar, mereka-mereka itu sudah pasti pernah mengikuti CBT.
Kasarnya, tujuan CBT (dan CBP keseluruhan) lebih dan tidak kurang dari menekankan pembangunan karakter untuk pengembangan SDM mahasiswa. Seperti yang disampaikan oleh Direktur CBP UINAM saat itu, Dr. Muhammad Sabri AR, M.A. mengenai ide awal dibentuknya CBP. CBP dibentuk berangkat dari keprihatinan terhadap berbagai persoalan bangsa yang kompleks. Mulai persoalan ekonomi, politik, sosial, budaya bahkan sampai di perguruan tinggi. Misalnya pembakaran kampus oleh sejumlah mahasiswa saat demonstrasi. Seharusnya mahasiswa mentransformasi nilai kultural, moral, sosial, intelektual dan spiritual. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Di sinilah letak permasalahannya bahwa mahasiswa minim akan moralitas dan akhlak maka perlu dibangun kesadaran historis yang mampu masuk ke jantung masyarakat[2].
Terdengar sangat ideal.
Begitukah?
Sampai di sini saya jadi teringat dengan cerita Divergent karya Veronica Roth. Jika boleh kita bayangkan kampus sebagai nowhere city, birokrat sebagai pemerintah, dan mahasiswa sebagai rakyat, maka CBT adalah upaya mulia yang kehadirannya sangat diharapkan demi membangun peradaban.
Seperti yang lebih lanjut disebutkan Direktur CBP Mohammad Sabri AR, latar belakang yang menjadi awal mulanya adalah bentrok mahasiswa yang disertai pelemparan kaca di tahun 2010.
“Jangan sampai kita ketularan secara negatif atas fenomena kampus yang sangat mudah melakukan tawuran atas permasalahan yang sepele. Dan itu merupakan persoalan yang besar, kita anggap ini bukan suatu aktivitas yang hanya bersifat ritual atau bersifat instrumental tapi memang harus dalam satu kerangka kesadaran yang utuh dari satu akar masalah.”[3]
Bagaimana kabarnya hari ini setelah hampir sewindu CBT?
Kampus yang menghadirkan CBT pada akhirnya memunculkan hal problematis. Betapa tidak, di satu sisi, CBT dirancang sebagai tanggung jawab perguruan tinggi untuk membentuk karakter, kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan sosial mahasiswa. Akan tetapi, di saat yang bersamaan kampus melalui UU Pendidikan yang sarat dengan logika (neo)liberalisme justru melahirkan efek yang memaksa kampus sekadar melayani status quo, alih-alih mendukung posisi kampus sebagai laboratorium untuk menghasilkan formulasi solusi atas persoalan kebangsaan. Perguruan tinggi dengan tugas utama yang disebutkan, harus memiliki langkah preventif, persuasif, represif, maupun kuratif.
Namun kepentingan selalu muncul di balik kepentingan lainnya. Akhirnya kampus terus-menerus menggarisbawahi orientasi kuliah untuk mendapatkan ijazah, ijazah untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi.
Hal ini menjadi sangat penting mengingat mahasiswa merupakan ujung tombak penciptaan peradaban bangsa. Lucu kiranya kalau masalah bentrok ecek-ecek segelintir mahasiswa ini menjadi senjata untuk mengalienasi gerakan mahasiswa lainnya yang pure membawa kepentingan mereka yang membutuhkan.
Ting! Pesan baru kembali masuk.
Ah, besok kampus masih diliburkan. Kamu mau kuajak minum kopi?
Samata, 26 Oktober 2018.
[1] Bentrok di UIN Alauddin Makassar, Satu Mahasiswa Mengalami Koma (https://updatesindonesia.com/2018/10/22/bentrok-di-uin-alauddin-makassar-satu-mahasiswa-mengalami-koma/) Diakses Sabtu, 26 Oktober 2018
[2] Pidato Prof. Dr. H. A. Qadir Gasing H.T.,M.S
[3] Yunus, Muhammad. 2017. Character Building Training (CBT) dalam Pembentukan Karakter Mahasiswa Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Tambahan:
Referensi bacaan untuk teman-teman:
- Gerakan Mahasiswa dan Politik Liberalisasi Pendidikan Pasca 2014 (https://indoprogress.com/2014/01/gerakan-mahasiswa-dan-politik-liberalisasi-pendidikan-pasca-2014/)
- UU Pendidikan Tinggi dalam Jerat Kapitalisme (https://indoprogress.com/2013/03/uu-pendidikan-tinggi-dalam-jerat-kapitalisme/)