Penulis: Roanne van Voorst
diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh Martha Dwi Susilowati
Penerbit : CV Marjin Kiri
ISBN: 978-979-1260-79-4
tebal: vi + 192 hlm; 14 x 20,3 cm
Cetakan pertama, Juli 2018
Roanne, seorang peneliti dari Belanda menuliskan ceritanya selama hidup di tengah kehidupan marjinal bantaran kali ibukota. Karena Roanne melakukan penelitian dengan metode partisipatif, sehingga dia kemudian tinggal di sana dan berbaur selama setahun.
Di pembuka buku, Roanne mengungkap bahwa tulisannya berusaha untuk tidak terlalu sentimental dalam menggambarkan kampung bantaran kali, kampung yang dia akui sebagai tempat terbaik di dunia. Roanne bercerita apa yang dia alami termasuk berkenalan dengan teman-teman baru —yang meski hanya dalam waktu setahun, tapi mereka berbagi banyak cerita— cukup untuk menghadirkan ikatan emosional di antara mereka. Tokoh di buku ini menggunakan nama-nama samaran untuk menjaga identitas asli, hal ini juga untuk membuat Roanne merasa leluasa menceritakan kondisi sosial politik yang sedikit jumawa perihal bantaran kali.
Orang-orang di bantaran kali melakukan banyak hal untuk menghidupi keluarga dan bertahan hidup dari banjir yang bisa 8-10x lebih sering merendam pemukiman tersebut daripada daerah lainnya di Jakarta.
Mana banjir yang mereka hadapi bukan banjir semata kaki lagi, tapi banjir yang tingginya seringkali melewati tinggi kepala orang dewasa, pasti kalian sering lihat beritanya di televisi kala musim hujan tiba. Problematika itu diceritakan dengan gaya bertutur yang ringan dan sendagurau. Warga bantaran kali ‘berteman’ dengan sungai yang pada saat tertentu dalam setahun mengancam keselamatan mereka. Dengan tutur yang sangat ringan Roanne berbagi kacamatanya tentang pola hidup miskin di suatu kampung menghasilkan kultur baru. Pusaran pola hidup yang berganduh dan tumpang tindih, namun di sisi lain masih bisa memperlihatkan hubungan yang solid dan harmonis. Seperti saat Roanne sakit dan mendapat perhatian dari para tetangganya di kala menyaksikan kenyataan pahit sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, juga bagaimana warga bantaran kali menyiasati banjir, dan bahu membahu saat terjadi kebakaran di kampung.
Saat Bom Benang 2017 lalu, saya sempat berinteraksi dengan warga yang tinggal di pinggiran sungai Sinrejala namun hanya dalam hitungan beberapa bulan saja, saya tidak seintens apalagi sedalam Roanne. Tapi bantaran kali mana pun masing-masing punya permasalahan vertikal dan horizontal. Seringkali tidak punya banyak pilihan bahkan sama sekali tanpa punya pilihan. Kesempatan yang diberikan pemerintah cukup masuk akal dilemparkan sebagai solusi di hadapan publik, tapi tidak cukup untuk realita mereka. Segala keruwetan yang bisa kita lihat dari permukiman pinggir sungai hanya bagian kecil paling luar saja. Mereka kuat bertahan karena mereka memang kuat.
Setelah membaca Tempat Terbaik di Dunia, menurutku buku ini adalah buku terbaik yang sudah kubaca. Saya tidak jago memberi nilai tapi buku dengan bahasa sederhana nan detail ini sanggup membuatku terus memikirkannya sehingga bisa kuselesaikan dalam dua malam sahaja. Tercepat dalam beberapa bulan terakhir. Di bagian akhir saya meneteskan air mata. Semuanya terasa nyata. Ya, memang nyata adanya.