Sore itu saya menangis sendirian dalam waktu yang tidak sebentar. Hanya seorang diri, di lantai 2 gedung dosen yang saat itu sedang sepi. Saya bahkan tidak sanggup mengajak bicara diri sendiri, untuk setidaknya, menenangkan diri. Saya memberi waktu pada diri saya sendiri mencairkan emosi selagi tidak ada orang lain yang melihat betapa jeleknya penampilanku saat itu. Seharian di kampus mengurus ina-inu.
Koridor yang sepi ini rasa-rasanya menyokong ambiance kesahajaan dalam kesendirian. Suara langkah kaki pun nyaris tidak terdengar. Saya perlahan bisa mengatur napas dan merilekskan otot-otot yang tegang. Saya mengatur ulang diri saya, membasuh wajah, melaksanakan salat Ashar masih di lantai yang sama saya menangis tadi. Saya menyelesaikan salat dengan perasaan yang lebih baik, bola mata berangsur dingin, jantung berdetak normal, dan gejolak di perut yang sedikit mereda. Saya mendambakan nasi dan sop ayam Bunda Adab. Semoga belum habis.
Hampir 1 jam yang lalu, saya berada di lantai 4. Berhadap-hadapan dengan dosen penguji yang kutemui sore ini. Saya menemui ibu dosen di ruangannya pukul 16.00 setelah pagi tadi tidak sempat atau menolak menguji skripsi saya pada jadwalnya. Saya mencoba menjelaskan permasalahannya di paragraf ini tapi saya tidak bisa menuliskannya dengan baik, kalimat di kepalaku bersusun bertele-tele dan itu menyedihkan. Saya mengakui kelalaian saya, tapi saya tidak bisa melakukan apa-apa. Semuanya hectic, segala sesuatunya seperti untouchable.
***
Ketika pagi.
Saya tiba 30 menit lebih awal, menunggu di depan ruangan Ibu Dosen sambil membayangkan skenario terbaik dan terburuk—sejauh saya bisa membayangkan—yang bisa kujumpai begitu masuk ke ruangan tersebut.