Sore itu saya menangis sendirian dalam waktu yang tidak sebentar. Hanya seorang diri, di lantai 2 gedung dosen yang saat itu sedang sepi. Saya bahkan tidak sanggup mengajak bicara diri sendiri, untuk setidaknya, menenangkan diri. Saya memberi waktu pada diri saya sendiri mencairkan emosi selagi tidak ada orang lain yang melihat betapa jeleknya penampilanku saat itu. Seharian di kampus mengurus ina-inu.
Koridor yang sepi ini rasa-rasanya menyokong ambiance kesahajaan dalam kesendirian. Suara langkah kaki pun nyaris tidak terdengar. Saya perlahan bisa mengatur napas dan merilekskan otot-otot yang tegang. Saya mengatur ulang diri saya, membasuh wajah, melaksanakan salat Ashar masih di lantai yang sama saya menangis tadi. Saya menyelesaikan salat dengan perasaan yang lebih baik, bola mata berangsur dingin, jantung berdetak normal, dan gejolak di perut yang sedikit mereda. Saya mendambakan nasi dan sop ayam Bunda Adab. Semoga belum habis.
Hampir 1 jam yang lalu, saya berada di lantai 4. Berhadap-hadapan dengan dosen penguji yang kutemui sore ini. Saya menemui ibu dosen di ruangannya pukul 16.00 setelah pagi tadi tidak sempat atau menolak menguji skripsi saya pada jadwalnya. Saya mencoba menjelaskan permasalahannya di paragraf ini tapi saya tidak bisa menuliskannya dengan baik, kalimat di kepalaku bersusun bertele-tele dan itu menyedihkan. Saya mengakui kelalaian saya, tapi saya tidak bisa melakukan apa-apa. Semuanya hectic, segala sesuatunya seperti untouchable.
***
Ketika pagi.
Saya tiba 30 menit lebih awal, menunggu di depan ruangan Ibu Dosen sambil membayangkan skenario terbaik dan terburuk—sejauh saya bisa membayangkan—yang bisa kujumpai begitu masuk ke ruangan tersebut.
Dia menyapa dengan ramah. Saya mengatakan jujur ketika bilang dia salah satu dosen sastra terbaik yang pernah kutemui. Saya termotivasi di kelasnya. Tapi beberapa kali juga hubungan vertikal ini bermasalah. Sebagai murid, saya sering melakukan kesalahan. Saat dosen marah kepada saya, saya mengakui itu karena my own carelessness.
Sama ketika pagi ini beliau absen di ujian skripsiku. Perasaan saya tidak enak. Dan benar saja, saya dimarahi perihal undangan. Katanya saya tidak sopan. Dan itu benar.
Saya menerima SK ujian skripsi lewat pukul 5 sore. Saya segera keliling kampus menemui semua nama yang tertera di SK. Sayang sekali, hanya beliau (saya memutuskan untuk tidak menyebut namanya sepanjang tulisan karena alasan pribadi) yang tidak sempat saya temui. Saya meninggalkan fakultas sudah lewat maghrib. Saya tahu saya belum mengantarkan undangan saya kepada dosen penguji 1 ini. Saya menuju ke rumah beliau, dan sialnya malam itu saya tidak ingat sama sekali blok rumah beliau. Saya mengitari semua blok dengan handphone yang mati total karena lowbatt. Saya menyerah mencari rumah dosen tersebut. Hari cukup malam dan saya butuh waktu untuk mempersiapkan ujian saya esok paginya. Sudah jelas kan letak kesalahan saya.
***
Beruntungnya, ketika saya masuk ke ruangannya, beliau dalam mood yang baik. Kira-kira tidak sampai sejam saya disidang perihal skripsi. Kemudian beliau mengajak saya mengobrol tentang hal lain. Seperti hobi, bacaaan, film dll.
Obrolan yang cukup santai. Kami sepakat skripsi saya ini bukan masterpiece. Dan saya sangat menerima ketika beliau mengatakan kepada saya, bahwa dia berharap lebih dari ini. Pernyataannya adalah kritik yang membangun. Beliau tidak mengesampingkan kesulitanku dengan pembimbing. Adalah fakta umum jurusan kita kekurangan ‘orang sastra’. Kebanyakan mahasiswa yang fokus skripsinya adalah karya sastra mendapatkan pembimbing linguistik. Mungkin banyak juga senior atau teman saya yang akan memberitahu saya bahwa itu bukan masalah. Ya, bisa jadi itu tidak berpengaruh pada kebanyakan orang. Tapi tentu saja tidak works pada segelintir mahasiswa yang mengerjakan skripsi.
Yang membuat saya merasa kurang nyaman saat itu adalah, ketika obrolan menjadi terlalu santai, beliau memberikan pernyataan yang cukup menohok. Beliau mungkin tidak bermaksud sama sekali untuk bersikap apatis.
Tapi saya tidak bisa bohong kalau saya merasa tersakiti dengan kata-katanya.
Kenapa sih kamu seperti tidak punya waktu.
Berhentilah dengan mimpi sederhana, punya toko buku, kamu harus punya ambisi.
Kenapa kamu tidak fokus di bidang akademik. Menjadi dosen contohnya.
Kamu memang cerdas dan sudah ada pengalaman, tapi kamu tuh kebanyakan habiskan waktu bekerja dan berjualan, segitunya kamu butuh uang?
(Iya saya butuh uang, saya membayar uang kuliah saya sendiri)
Yang bikin saya speechless:
Kamu tuh gausah terlalu mentingin uang. Kamu punya orang tua kan. Kamu ga berasal dari pelosok kan. Kamu kenal M (menyebut seorang teman seangkatanku), kamu harusnya contohi dia. Dia bisa kok lulus tepat waktu. Bayangkan dia harus menjaga adiknya tiap hari saat kedua orang tuanya ke kantor. Dia sangat rajin menemui saya di rumah atau kampus untuk konsultasi... (kalimat beliau selanjutnya masih membanding-bandingkan M dan saya yang dinilainya tidak peduli dengan penelitian saya. Ya mau bagaimana lagi, saya cuma mengangguk tanpa tahu harus merespon apa)
Apakah sebagai dosen beliau tidak paham bahwa tidak semua mahasiswa punya privilege: untuk kuliah, fokus pada akademik, tanpa harus memikirkan biaya kuliah? Atau saat itu karena moodnya terlampau bagus, beliau jadi agak tidak peka?
Padahal selama ini kupikir kami cukup akrab (kepedean). Kami kadang mengobrol saat kebetulan berpapasan atau duduk di pelataran fakultas.
Saat beliau menjadi pembedah buku Bukan Perawan Maria di salah satu event, saya satu-satunya mahasiswanya yang datang. Setelahnya saya menemani beliau jalan-jalan di sekitar venue dan beliau membeli beberapa buku. Di penghujung hari, beliau mentraktir saya makan di salah satu tempat makan di pinggir pantai.
Saya beberapa kali konsultasi skripsi dengan beliau, bertemu di kampus, di rumah beliau, atau bertukar email.
Kadang kami juga membicarakan tentang crafting (beliau sering melihat saya merajut di kampus), bahkan pernah mengajak saya untuk kolaborasi belajar prakarya.
Saya sempat mengira beliau mengenal saya dengan baik. Tapi ketika mendengar pernyataan judgementalnya hari ini, saya cukup merasa pahit.
Beruntunglah pertemuan awkward tersebut tidak berlangsung selamanya. Saya tidak ingat berapa jam saya lalui di ruangan tersebut. Yang kutahu, saya sudah menangis bahkan sebelum berdiri dari kursi. Mungkin beliau lihat sebagai tangisan haru seorang mahasiswa yang baru saja menyelesaikan ujian skripsinya. Beliau memberi saya nilai yang bagus, dan saya sangat berterimakasih. Selain dari itu, saya bahkan tidak sanggup menurunkan kedua tangan yang menutupi wajahku. Saya merasa malu dan hanya menangis saja. Saya pamit, dan turun tangga dari lantai 4. Sampai di lantai ke 2 saya memutuskan ke musalla, istirahat. Lututku terasa lemas.
***
Kalau dipikir-pikir. Beberapa perkataannya ada benarnya juga. Saya mungkin terlalu nyaman dengan duniaku, menyia-nyiakan terlalu banyak kesempatan. Tidak mengasah potensi diri. Dan terlalu naif jika menganggap seluruh orang di sekitarku akan mendukung apapun yang kulakukan.
Bagaimana saya menghadapi dunia dengan perasaan ringkih dan cengeng ini?
***
Saya tidak ada intensi apapun untuk marah. Saya hanya cengeng dan butuh waktu untuk menenangkan diri. Kuharap saya punya kesempatan untuk bertemu beliau lagi.
Lebih dari itu, adalah pengalaman yang rollercoster ini kuharap dapat kumaknai dengan baik.