Oleh: Ekha Nuh
Sabtu kemarin akhirnya saya dan seorang teman berkesempatan lagi berkunjung ke Pantai Marbo di Tallo, Kota Makassar. Kali ini
kami ikut nobar film Silent Blues of The Ocean atau “Senandung Sunyi
Samudra” yang diadakan Ruang Abstrak Literasi. Pemutaran film ini menghadirkan 3
pembicara, Ibu Saenab sebagai perwakilan nelayan perempuan, Pak Amir yang juga nelayan
setempat dan Rifal Najering, sejarawan maritim. Kami berdua sudah tiba di
Pantai Marbo sore, sekitar 3 jam sebelum nobar mulai dan masih
sempat melihat gelora senja di balik pondasi timbunan beberapa meter tepat di
depan. Tenang, berlumpur, berminyak, sampah terapung, dan tak ada riak air.
Pemandangan laut yang biasa ditemui di semua pantai proyek reklamasi.
Kawasan Tallo adalah salah
satu kampung nelayan tertua di Makassar, yang meski pemukiman ini merupakan
salah satu identitas kota Makassar sebagai kota pesisir, namun keberadaannya
sendiri tidak banyak diketahui, kalau fakta itu salah, coba tanya teman-teman
kalian yang berasal dari Makassar, apakah mereka atau bahkan kalian sendiri
pernah mendengar dengan Panti Marbo dan kampung nelayan Tallo? Selain dari
lokasinya yang memang berada di pinggiran kota, kalian akan setuju kalau nanti
melihat sendiri betapa terpinggirkannya kampung nelayan ini. Kampung Tallo ini termasuk
kawasan pesisir yang “terbenahi” alias terkena dampak reklamasi di Makassar.
Bukannya mendapat perhatian untuk kesejahteraan keluarga nelayan dan para
penduduk dengan mengembangkan potensi di Zona Ekonomi Eksklusif secara optimal,
malah terancam kehilangan sumber penghidupannya, yang bisa dibilang sebagian
besar dari mereka bergantung sepenuhnya pada hasil melaut. Timbunan reklamasi
di bibir pantai ini barang pasti menutupi akses penangkapan ikan di sekitarnya,
bahkan mengganggu keadaan beberapa varietas ikan dan kerang. Para nelayan
kemudian terpaksa mencari dan menangkap ikan dengan jarak yang lebih jauh
hingga ke tengah laut. Tentu hal itu sangat membebani nelayan karena harus
membeli lebih banyak bahan bakar, imbasnya lagi pendapatan nelayan jadi
menurun. Seusai pemutaran film dan diskusi, saya sempat berbincang dengan Ibu
Saenab, yang membenarkan, pendapatan mereka dari hasil melaut jika dikalkulasikan
hanya 10 sampai 15 ribu saja per hari−itu pun sudah cukup beruntung.
Ibu Saenab, mewakili suara
para perempuan nelayan yang menggantungkan penghidupan keluarga dari hasil
melaut. Kembali ke tahun-tahun sebelumnya, pencanangan reklamasi di depan
pemukiman mereka, untuk itu pihak pemerintah dan pengemang sudah menjanjikan
adanya kompensasi untuk nelayan. Namun, hanya sampai ditahap pendataan saja.
Belum ada tanda-tanda pasti kapan hak-hak nelayan akan diberikan. Lebih lanjut
Ibu Saenab menjelaskan pilihan solusi kolektif untuk nelayan dibutuhkan lebih
baik daripada ketidakpastian yang saat ini mereka rasakan. Mereka sudah bosan
dijanji terus, tanpa garansi, sementara keluarga harus terus dihidupi.
Semua orang gerah dengan
ketidakpastian nasib. Mata pencaharian terancam hilang dan pihak yang harusnya
bertanggung jawab tetap bergeming. Kami merasakan betul keresahan itu dengan
mendengar dari Pak Amir. Setiap hari penduduk harus melihat proyek yang
merampas ladang mereka tepat di depan rumahnya. Pak Amir juga mengatakan bahwa
warga sudah melayangkan undangan pertemuan namun belum digubris. Untuk sekarang,
warga masih berjuang menuntut solusi dari permasalahan ini.
Sebelum diskusi tersebut,
terlebih dahulu diputarkan film dokumenter “Senandung Sunyi Samudra". Film dokumenter
yang reflektif ini, menarasikan kehidupan pasca adanya reklamasi,
entah film ini dinilai berorientasi akademik atau bisa juga dipandang sebagai salah satu alat perjuangan
kelas. Manusia terbentuk menjadi sesuatu karena adanya fakta yang menopangnya. Ada
fakta yang membuat masyarakat menjadi miskin. Dan fakta itu menyerempet dalam
rangka memenuhi kebutuhannya, perubahan cara mereka memenuhi kehidupannya
berpengaruh pada kehidupan mereka selanjutnya, termasuk kebutuhan urgent
lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Film ini menghadirkan
keseharian beberapa warga eks nelayan setelah sumber pencaharian alam mereka
terebut, salah satunya pemulung atau yang kita sebut dengan payabo.
Dampak konstruksi alam bagi masyarakat
kampung pesisir bisa lebih besar karena mereka bergantung penuh pada sumber daya
alam. Kita bisa melihat benang merah antara perubahan iklim, krisis air,
kriminalitas, ancaman kesehatan, hingga kenaikan populasi, tidak lain dan tidak
bukan akar permasalahannya adalah sistem produksi. Mengutip Commoner Barry
dalam Magdoff Fred, jika lingkungan tercemar dan ekonomi sakit, virus yang menyebabkan
keduanya akan ditemukan dalam sistem produksi. Dan di situlah kesembuhan mereka
dapat ditemukan juga.
Dalam konteks neoliberal, pemodal
memiliki kuasa besar termasuk dukungan pemerintah untuk memprivatisasi lahan
yang selama ini menjadi ladang penghidupan warga. Pembangunan ini jelas bukan
untuk warga biasa, tapi untuk kenyamanan estetika dan keuntungan warga kelas
atas.
Jadi, ketika ada orang yang
kesetanan mengatakan reklamasi untuk kebaikan kita semua. Sini kudatte’
jidatnya.
Kalau estetika alam dikuasai
para pemodal, setidaknya tulisanku ini biar bisa estetik juga, saya tutup
dengan mengutip Guruh Soekarno Putra.
Surya tenggelam ditelan kabut kelam
Senja nan muram dihati
remuk redam
Jalan berliku dalam
kehidupan
Dua remaja kehilangan
Penawaran rindu kasih
pujaan
Menempuh cobaan
Referensi:
Magdoff,
Fred. 2018. Lingkungan Hidup dan Kapitalisme. Jogjakarta: Marjin Kiri
Chrisye. 1978. “Kala Sang
Surya Tenggelam” Oleh Guruh Soekarno Putra.