Festival Sinema Australia Indonesia atau disingkat FSAI diselenggarakan di Makassar pada hari ini, 15 Februari 2020. Tahun ini adalah tahun ke lima FSAI, yang (telah) dilaksanakan di lima kota besar Indonesia yaitu, Jakarta, Surabaya, Makassar, Bandung, Mataram, dan di Yogyakarta untuk pertama kali. FSAI 2020 adalah persembahan Australia Connect, menampilkan serangkaian sektor kreatif Australia yang berkembang pesat melalui musik, film, makanan, dan seni.
Selain membawa beragam sinema ke penonton Indonesia, FSAI memberikan kesempatan bagi mahasiswa film dan sineas muda berbakat untuk belajar dari pembuat film dan alumni Australia. Selain film Australia, ada juga beberapa film lokal Indonesia yang ditayangkan, seperti Bebas, Susi Susanti: Love All dan Kulari ke Pantai.
***
Berbeda saat Festival Film Jerman 2019 beberapa bulan yang lalu, kali ini di FSAI aku cukup beruntung bisa nonton 3 film.
Dari keempat film di atas, aku tidak kesampaian nonton Angel of Mine karena kehabisan tiket. Sistem pengambilan tiketnya adalah ambil satu jam sebelum pemutaran, atau bisa dibilang antri on the spot. Jadi, ketika sementara di dalam audi menonton Susi Susanti, tiket untuk film terakhir sudah habis. Tapi tidak apalah. Rasanya sudah senang bisa marathon 3 film bagus dan gratis. Di mana lagi kalau bukan di festival film. Banyak film bagus yang terbatas pemutarannya di festival tertentu dan tidak tersedia di platform film.
Bebas (2019)
Sebelumnya aku dan Ikha sudah menonton film Bebas bersama teman SMP kami, Yurika, September 2019 lalu saat ulang tahun kami. Tapi berhubung film ini sangat bagus dan rewatch material, sayang sekali untuk dilewatkan begitu saja. Film ini adalah remake dari film Korea Selatan berjudul Sunny. Film Bebas dan Sunny secara plot memang sama, tapi tentu ada beberapa perbedaan menyesuaikan dengan kondisi dan budaya di Indonesia. Aku juga sangat suka dengan soundtracknya.
Emu Runner (2018)
Film indie garapan Imogen Thomas ini berkisah tentang Gem, seorang anak perempuan suku Aborigin di Australia yang baru saja kehilangan ibunya secara mendadak. Kehilangan sosok ibu yang berdampak pada Gem dan keluarganya, membuat Gem melampiaskan dengan bermain di hutan dan berlari. Di sinilah Gem menjalin kedekatan dengan alam dan hewan. Gem ternyata bisa berkomunikasi dengan emu, binatang tradisional yang sering diceritakan oleh ibunya. Gem, si pelari cilik menggambarkan pemberontakan anak yang kehilangan kehangatan keluarga yang relatable dengan mengangkat unsur-unsur tradisional.
Susi Susanti: Love All (2019)
Adalah film biopik yang ditulis Syarika Bralini dan disutradarai Sim F. Sayang sekali aku baru menonton film keren ini. Dari mana saja aku?
Sejak kecil aku begitu kagum dan menghormati olahraga bulutangkis berkat para atletnya. Berdedikasi dan menebar motivasi. Termasuk legenda pebulu tangkis putri, Susi Susanti. Namanya selalu ada di deretan atlet berprestasi. Tapi aku ga nyangka lho ternyata beliau memang sekeren itu! Ih keren sekaliii mau sungkem.
Film ini tidak hanya menggambarkan kerja keras Susi Susanti menjadi atlet dunia, tapi juga perjalanan cintanya dengan sang suami yang juga atlet bulu tangkis, Alan Budikusuma. Ah, terima kasih FSAI, aku mendapatkan kehormatan untuk menonton film keren ini.
Bonus foto di sela jeda film: