Di hari pertama tahun 2020, saya tidak mempersiapkan sesuatu
yang spesial
karena saya bukan penjual martabak. Saya
menghabiskan hari libur di rumah melakukan hal-hal biasa namun membahagiakan.
Lihatlah betapa sederhananya diriku. Mencuci piring, membuat mokacino sacet, membuat
bakwan dan bersiap menonton maraton film-film bagus sangatlah membuatku gembira
alih-alih
keluar di antara tetes hujan yang sedang lucu-lucunya, mencari tempat
tongkrongan di café, di mall, di kedai fast-food... huh
sejujurnya saya juga akan senang kalau mengunjungi tempat-tempat tersebut. Tapi
setiap keluar dari tempat itu saya merasa sedikit hampa. Saya tidak akan bohong
kalau semua tempat itu memang menyenangkan. Indah dan berkilau.
Namun bagi seseorang yang sadar akan ketimpangan sebagai
keprihatinan etis, agaknya dia akan merasa kurang nyaman
berada di lingkungan hedonis. Tapi di sisi lain, justru karena fakta akan
ketimpangan yang signifikan itu, tempat-tempat glamor dan barang-barang mewah
semakin diminati
sebagai upclassing, di mana masyarakat seolah-olah mengalami
mobilitas sosial karena peningkatan penghasilan –yang ditunjukkan dengan peningkatan konsumsi atau pemilikan barang. Selera atau
cita rasa segelintir
orang akan barang terlahir dari struktur
sosial dan dipertahankan untuk menegaskan status
atau kedudukannya.
Pierre Bourdieu mengistilahkannya sebagai habitus.
Dalam
semesta sosial terdapat banyak arena. Ada ekonomi, politik, budaya, juga ada
arena intelektual. Katakanlah dalam arena intelektual, setiap aktor yang
terlibat pertarungan di dalam berbekal modal (kapital) dan habitus. Habitus
sendiri bisa dipahami sebagai sebuah pengetahuan yang sudah ada dan ia
membentuk pandangan setiap aktor dalam memaknai arenanya. Konsekuensinya ada
dua habitus itu bertahan atau tergantikan dengan habitus baru.
Setiap individu mengenyam habitus yang tercermin dari
preferensi budaya, serta gaya ruang hidup. Gaya hidup kemudian menjadi
pembenaran yang meneguhkan posisi seseorang terhadap kelas, menjadi justifikasi
bagi seseorang untuk menentukan tinggi-rendahnya status (Bourdieu, 1984: 6). Preferensi tersebut menjadi pembedaan (distinction) yang berarti membedakan diri untuk menunjukkan kelasnya
dalam masyarakat.
Saya dan kalian bisa memilih untuk
tidak ikut meramaikan pembedaan (distinction) tersebut dengan tidak
mengikuti laku konsumtif berlebihan atau misal dengan nongkrong di warung kopi kecil, wah
ada beberapa rekomendasi tempat ngopi yang tidak kalah nyaman sekaligus membantu
penghasilan usaha warga kecil, atau dengan memakai pakaian ‘anti
kemapanan yang mana semuanya
itu bisa disebut
sebagai perlawanan (resistance).
***
Baiklah, saya sudah menyusun daftar film yang akan menemani saya menghabiskan
siang hingga malam. Salah satunya adalah Parasite. Saya ingat menonton film ini
enam bulan yang lalu, setelah berhasil memaksa seorang kawan untuk menemani
saya hari itu. Sebenarnya bukan fakta penting untuk kalian tahu, tapi saya yang
menulis jadi tolonglah. Nah, sepulang dari bioskop saya masih terpukau untuk ke
sekian kalinya dengan Bong Joon Ho. Dia selalu berhasil menggambarkan realita
sosial, dan kita para penonton akan sok menghubung-hubungkan interpretasi kita
terhadap film pada kehidupan pribadi kita. Apalagi film besutan Bong Joon Ho
tidak akan jauh-jauh dari permasalahan keluarga, ketimpangan sosial dan
kesenjangan kemanusiaan. Parasite sendiri dimaknai sebagai analogi dari makhluk
yang bergantung pada makhluk lain (inang) tanpa memberi bantuan atau manfaat
lain padanya. Persis seperti yang digambarkan oleh Gita Gutawa dalam lirik
lagunya, Parasit. Mulanya malu-malu, lalu jadi benalu, minta ini itu kau minta padaku dengan semaumu~
Film Parasite menyorot soal kehidupan antara si miskin dan
si kaya. Di mana yang miskin menderita karena berada di tekanan strata sosial
dan hidup di rumah semi basement dan tanpa pekerjaan tetap. Sementara yang kaya
bisa mendapatkan apapun karena mereka memang mampu membayar untuk itu. Sebuah
gambaran umum yang bisa kita lihat di masyarakat. Suatu hari, nasib baik
menghampiri Ki Woo, anak
lelaki Ki Taek. Dia ditawari untuk mengajar les
privat bahasa Inggris menggantikan temannya. Mengingat anggota keluarganya yang
lain masih pengangguran, keluarga ini bekerja sama meski harus menggeser dua
pekerja lainnya dari rumah keluarga Park. Inilah aslinya partner in crime.
Umumnya penonton akan bereaksi terhadap
cara cerdik keluarga Kim; wah memang tidak tahu bersyukur mereka ini. Mereka
ingin semuanya. Hal itu didorong oleh adanya gap di antara kaya dan miskin.
Kesempatan bagi mereka yang miskin untuk memperoleh kesuksesan bisa jadi satu
banding seribu. Di awal cerita, diperlihatkan bahwa Ki Woo dan kakaknya, Ki
Jeong merupakan anak-anak cerdas dan berbakat. Kedua orang tua mereka, Ki Taek
dan Choong Sook pun sangat rajin. Seperti yang direkam oleh Roanne Van Voorst
dalam bukunya Tempat Terbaik di Dunia,
bahwa kaum miskin itu tidak ada, yang ada adalah individu-individu miskin.
Warga yang tinggal di bantaran kali bukannya miskin karena mereka bodoh dan
malas. Warga seperti mereka justru harus menguras tenaga tiap hari hanya untuk
mendapatkan kamar sempit dan makan. Kemiskinan dan kekumuhan yang melanda
mereka dipandang sinis dengan stigma oleh pemerintah sendiri. Maka tak urung
juga orang-orang miskin selalu dikerjai oleh pejabat
pemerintah.
Terdengar menggelikan tapi begitulah adanya. Warga yang hidupnya cukup
beruntung dan tidak memiliki empati cenderung memihak pemerintah untuk
‘mengalihkan’ ruang tempat orang-orang miskin seperti di bantaran kali, dengan
alasan naturalisasi kali, penataan kota atau ruang terbuka hijau. Demikian
tersebut adalah dominasi simbolik dari masyarakat, yang menutupi ketidakadilan
di dalamnya. Dominasi simbolik, menurut Bourdieu adalah bentuk penindasan
dengan menggunakan simbol-simbol, tidak dirasakan secara langsung sebagai
penindasan, justru terlihat seperti hal yang lazim.
Warga bantaran kali dan warga miskin
lainnya tidak mendapatkan kesempatan yang sama seperti setiap orang. Aduh, mana
bisa saya setuju setuju saja dengan pernyataan segelintir orang menanggapi anak-anak
muda yang terpilih menjadi staf khusus presiden tempo
hari semata karena
kerja keras mereka belaka, bukan karena lingkaran keluarga mereka yang memberi
kesempatan sebesar-besarnya untuk meraih kesuksesan di usia muda. Dalam arena kultural, Bourdieu menyebut adanya strategi reproduksi yang
dimainkan para aktor guna mengukuhkan posisinya di arena kultural. Strategi reproduksi, di mana
individu atau kelompok ini sadar atau tidak cenderung
mempertahankan modal mereka dan secara sensibel mempertahankan atau meningkatkan posisi mereka di
struktur kelas, mengkonstitusi suatu sistem yang menjadi produk dari sebuah
prinsip generatif yang bersifat menyatukan. Seperti keluarga Park yang
kaya, mereka tidak hanya membutuhkan bantuan untuk menjalankan pekerjaan
sehari-harinya, seperti guru les, sopir pribadi, dan asisten rumah tangga yang
melakukan semua pekerjaan domestik di rumah itu. Lebih dari itu, keluarga Park
sedang menegaskan struktur kelas sosial mereka. Sorry to tell you.
Dalam film Parasite, keluarga Kim hanya
tertawa menerawang bagaimana seandainya Ki Woo menikah dengan Park Da Hye, anak
perempuan Nathan Park. Itu adalah suatu khayalan yang terdengar muluk bagi
mereka. Padahal,
bagaimana mereka sekeluarga berhasil berkumpul di rumah itu pun masih sulit
dipercaya. Wow. Tapi khayalan untuk menikmati hidup
selayaknya orang kaya bisa tercapai malam itu, di saat keluarga Park keluar
untuk berkemah. Keluarga Kim akhirnya bisa mengekspresikan diri dalam rumah
mewah meski bukan miliknya. Ki Jeong berendam di tub sambil menonton
televisi, Ki Woo berjemur di bawah matahari yang entah apa istimewanya, mungkin
nikmatnya berbeda saat dilakukan
di rumah tersebut,
hingga malam harinya mereka sekeluarga bisa duduk bersama menikmati berbagai
makanan dan mencoba berbagai wine. “memang
kita tidak tinggal di sini? Sementara kita bersantai di ruang tamu dengan semua
minuman ini. Sekarang kita tinggal di sini, ini rumah kita, hangat kan?” bahwa habitus borjuis yang membutuhkan
modal ekonomi telah terkontemplasi ke dalam kesadaran budaya, pemikiran, dan
akhirnya tindakan yang dilakukan oleh keluarga Kim. Sehingga tawaran untuk
merasakan hidup kelas borjuis sungguh menarik bagi mereka meskipun hanya
sesaat.
Ada satu percakapan yang menarik dari
keluarga Kim, saat Kim Ki Tae bilang “Nyonya
Yeon sangat sederhana dan baik, kaya namun baik”, Choong Soon menimpali, “Bukan ‘kaya namun baik’, tapi ‘karena kaya
ia baik’, paham? Andai saja aku punya uang, aku akan sangat baik.” Mereka menyimpulkan
korelasi antara modal ekonomi dan kemurahan hati seseorang. Hal ini berlanjut
menjadi dominasi kekuasaan simbolik, yang mampu menghubungkan modal ekonomi
dengan modal kekuasaan simbolik yang terus diproduksi secara alami,
dikontemplasikan, lalu terlihat sebagai kedermawanan. Hal itulah yang menyebabkan sebuah
kekuasaan dapat berjalan secara terus menerus.
Film Parasite sudah selesai. Seperti biasa, Bong Joon Ho
selalu memberi ending menggemaskan sempurna. Saya menjadi overthinking dan itu
membuatku lapar. Sebelum beranjak ke film selanjutnya saya harus ke dapur dulu.
Setidaknya, ada satu makanan yang tidak menjustifikasi kelas sosial kita. Hanya
Indomie, selera kita semua.
1. Bourdieu, Pierre.1984. Distinction: A
Social Critique of the Judgment of Taste. Trans. by Richard Nice.
Cambridge: Harvard University Press.
2.
Bourdieu, Pierre. 1996. The Rule of Art, Genesis
and Structure of the Literary Field. Trans. by Susan Emanuel. Cambridge: Polity Press.
3. Harker, Richard, Cheelen Mahar, Chris Wilkes. 2005. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik:
Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bordieu. Jogjakarta:
Jalasutra.
4. Roanne Van Voorst. 2018. Tempat
Terbaik di Dunia. Terj. Oleh Dwi Martha Susilo. Tangerang: Marjin Kiri.