Anatomi Perasaan Ibu
Penulis @sophiamega
149hlm
149hlm
Sebab pengalaman ketubuhan perempuan tidak hanya berisi kebahagiaan. Seolah kehidupan Ibu yang terlihat "jauh" dari kata kacau balau.
Saya membeli buku ini untuk hadiah ulang tahunku yang pertama kali sebagai seorang Ibu. Setelah membacanya, saya lebih merekomendasikan buku ini dibaca setelah melewati fase newborn. Karena cerita blak-blakan dan jujur sepertinya bisa men-trigger kepanikan dan tekanan saat itu juga. Bukan hanya itu, membaca buku ini setelah melewati fase "kritis" menjadi Ibu, seperti memberi pelukan dan segelas coklat hangat.
Banyak sekali uneg-uneg mba Sophia Mega curahkan di buku Anatomi Perasaan Ibu. Bahwa benar menjadi ibu tidak hanya berisi kebahagiaan, seperti yang dilihat dari postingan para Ibu baru di medsos.
Aslinya rumit. Ada berbagai gejolak emosi, rasa kesepian, takut, khawatir, marah, sampai mau gila!
Di buku ini, Sophia Mega berbagi pengalaman emosi dalam 4 bagian tulisan. Bagian 1, pernikahan. Bagian 2, hamil. Bagian 3, melahirkan. Dan bagian 4, menjadi Ibu. Membaca semua bagian membuat agak merinding saking relate-nya (dikit-dikit "HAHH kok benerr?").
Di bagian 1, pernikahan.
Menjadi orangtua membuat kita merenung apakah kehidupan "dewasa" ini yang kita damba untuk jalani? Terutama ketika mengingat bagaimana hubungan kita dan orangtua kita sendiri. Ternyata, kebutuhan emosi yang tidak terpenuhi itulah yang membuat kita "meninggalkan" masa kecil. Kita merasa tumbuh dewasa dengan cepat adalah solusi dari sepi yang kita rasakan. Menjadi "dewasa" prematur. Segera menikah kemudian cepat atau lambat (dengan usaha atau keberuntungan) dikaruniai amanah sebagai orangtua.
Bagi orang dewasa yang masih membawa luka pengasuhan masa kecil, ambisi untuk menjadi orangtua terbaik berpacu dengan kesadaran "benarkah kita bisa melakukannya lebih baik?" Apakah yang kita alami dulu dari POV orangtua adalah justru cara mereka melindungi dan merawat kita sebaik-baiknya?
Sebuah pikiran menari-nari, tentang seperti apakah kita menjadi orangtua untuk anak kita?
Di Bagian 4, menjadi Ibu.
".. setelah konseling aku jadi bisa menyadari bahwa aku marah bukan karena anakku sulit makan dan bisa berdampak pada tumbuh kembangnya. Sebenarnya aku marah karena komentar dan koreksi pengasuhan yang kuterima dari orang lain itu membuatku khawatir akan mendapatkan label "Ibu gagal", ternyata aku sibuk menyelamatkan diriku sendiri." (Hal. 88-89)
ketika menjadi "Ibu" kita cenderung defensif. Gatau kenapa kita jadi punya alasan–berikut–cadangan–alasan pada tiap hal, untuk membela diri setiap kali ada yang memberi komentar atau koreksi mengenai cara pengasuhan kita. Rasanya takutt banget dilihat salah dan gagal sejak dalam pikiran.
Apalagi membayangkan tuntutan masyarakat dari yang wajar sampai yang tidak masuk akal. Belum lagi perasaan tidak berharga yang misterius. Tanpa mempertanyakan rasa cinta dan kesyukuran seorang Ibu, apakah identitasnya sebagai perempuan bisa hilang tergantikan dengan "Ibu [nama anak/nama suami]"
Meskipun membaca buku ini rasanya tidak ringan dan penuh emosi, tapi begitu selesai rasanya seperti diberitahu, kamu tidak sendirian, Bu.
Selamat 27 tahun untuk diriku.