Tampilkan postingan dengan label Film. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Film. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 Januari 2021

Kencan Bioskop Pertama dengan Suami

 



Terakhir saya menonton film sekitar awal Maret 2020, dan karena isu lockdown sudah beredar di ibukota Jakarta, saat itu saya berpikir bahwa hanya menghitung hari saja hingga kasus corona muncul di Makassar. Betul saja, tidak menunggu lama sudah ada pengumuman libur untuk semua situs di makassar termasuk kantor dan sekolah juga.


Tentu saja di masa awal pandemi siapa sih yang mau ngeluh ga bisa ke bioskop lagi. Semuanya bisa diatasi dengan Netflix, Iflix, dan lain-lain. Musibah pandemi bakalan mengubah banyak pola hidup kita.


Terhitung 11 bulan saya tidak pernah nonton ke bioskop, akhirnya saya ke sana lagi ditemani suami untuk pertama kalinya. Itupun sebenarnya karena suami yang tertarik nonton filmnya Demon Slayer: Kimetsu No Yaiba: Mugen Train. Tbh, saya belum tahu anime tersebut, jadi kalau langsung nonton filmnya bakalan susah ngerti. Tapi karena terlanjur sudah pesan tiket demi kencan sama suami saya gas lah marathon animenya 2 hari sebelum pergi nonton, panduan dari suami karena filmnya adalah season 2 dari animenya. Tentu saya tidak bisa 100% menyimak, maka banyak kali saya forward di scene yang panjang. Oh ya, tidak perlu worry sobat, sebab saya bersemedi sambil ‘dibimbing’ suami, biar tetap berada di jalur yang benar. Sungguh 2 hari yang sibuk.


Untuk pemesanan tiket, hanya berlaku online. Saya pesan tiketnya di aplikasi CGV. Di lokasi pun belum bisa order makanan, hehe, gabisa jajan popcorn gaes. Takpelah yang penting nonton sama suami yey.


Filmnya sedih sekali hiks, sorry no spoiler, serius endingnya sad huhuhu. Yang sad-nya lagi, saat di pertengahan menuju di klimaks film, saya sempat tertidur (hehe) entah berapa lama mungkin karena abis begadang malamnya maraton anime atau karena saya lapar, nyaris kehilangan momen epic.


Sabtu, 15 Februari 2020

Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) 2020 di CGV Makassar




Festival Sinema Australia Indonesia atau disingkat FSAI diselenggarakan di Makassar pada hari ini, 15 Februari 2020. Tahun ini adalah tahun ke lima FSAI, yang (telah) dilaksanakan di lima kota besar Indonesia yaitu, Jakarta, Surabaya, Makassar, Bandung, Mataram, dan di Yogyakarta untuk pertama kali. FSAI 2020 adalah persembahan Australia Connect, menampilkan serangkaian sektor kreatif Australia yang berkembang pesat melalui musik, film, makanan, dan seni.


sumber

Selain membawa beragam sinema ke penonton Indonesia, FSAI memberikan kesempatan bagi mahasiswa film dan sineas muda berbakat untuk belajar dari pembuat film dan alumni Australia. Selain film Australia, ada juga beberapa film lokal Indonesia yang ditayangkan, seperti Bebas, Susi Susanti: Love All dan Kulari ke Pantai.

***


Berbeda saat Festival Film Jerman 2019 beberapa bulan yang lalu, kali ini di FSAI aku cukup beruntung bisa nonton 3 film.


sumber


Dari keempat film di atas, aku tidak kesampaian nonton Angel of Mine karena kehabisan tiket. Sistem pengambilan tiketnya adalah ambil satu jam sebelum pemutaran, atau bisa dibilang antri on the spot. Jadi, ketika sementara di dalam audi menonton Susi Susanti, tiket untuk film terakhir sudah habis. Tapi tidak apalah. Rasanya sudah senang bisa marathon 3 film bagus dan gratis. Di mana lagi kalau bukan di festival film. Banyak film bagus yang terbatas pemutarannya di festival tertentu dan tidak tersedia di platform film.


Bebas (2019)

Sebelumnya aku dan Ikha sudah menonton film Bebas bersama teman SMP kami, Yurika, September 2019 lalu saat ulang tahun kami. Tapi berhubung film ini sangat bagus dan rewatch material, sayang sekali untuk dilewatkan begitu saja. Film ini adalah remake dari film Korea Selatan berjudul Sunny. Film Bebas dan Sunny secara plot memang sama, tapi tentu ada beberapa perbedaan menyesuaikan dengan kondisi dan budaya di Indonesia. Aku juga sangat suka dengan soundtracknya. 


Emu Runner (2018)

Film indie garapan Imogen Thomas ini berkisah tentang Gem, seorang anak perempuan suku Aborigin di Australia yang baru saja kehilangan ibunya secara mendadak. Kehilangan sosok ibu yang berdampak pada Gem dan keluarganya, membuat Gem melampiaskan dengan bermain di hutan dan berlari. Di sinilah Gem menjalin kedekatan dengan alam dan hewan. Gem ternyata bisa berkomunikasi dengan emu, binatang tradisional yang sering diceritakan oleh ibunya. Gem, si pelari cilik menggambarkan pemberontakan anak yang kehilangan kehangatan keluarga yang relatable dengan mengangkat unsur-unsur tradisional.


Susi Susanti: Love All (2019)

Adalah film biopik yang ditulis Syarika Bralini dan disutradarai Sim F. Sayang sekali aku baru menonton film keren ini. Dari mana saja aku?

Sejak kecil aku begitu kagum dan menghormati olahraga bulutangkis berkat para atletnya. Berdedikasi dan menebar motivasi. Termasuk legenda pebulu tangkis putri, Susi Susanti. Namanya selalu ada di deretan atlet berprestasi. Tapi aku ga nyangka lho ternyata beliau memang sekeren itu! Ih keren sekaliii mau sungkem.

Film ini tidak hanya menggambarkan kerja keras Susi Susanti menjadi atlet dunia, tapi juga perjalanan cintanya dengan sang suami yang juga atlet bulu tangkis, Alan Budikusuma. Ah, terima kasih FSAI, aku mendapatkan kehormatan untuk menonton film keren ini.


Bonus foto di sela jeda film:






Minggu, 05 Januari 2020

Habitus Parasite



Di hari pertama tahun 2020, saya tidak mempersiapkan sesuatu yang spesial karena saya bukan penjual martabak. Saya menghabiskan hari libur di rumah melakukan hal-hal biasa namun membahagiakan. Lihatlah betapa sederhananya diriku. Mencuci piring, membuat mokacino sacet, membuat bakwan dan bersiap menonton maraton film-film bagus sangatlah membuatku gembira alih-alih keluar di antara tetes hujan yang sedang lucu-lucunya, mencari tempat tongkrongan di café, di mall, di kedai fast-food... huh sejujurnya saya juga akan senang kalau mengunjungi tempat-tempat tersebut. Tapi setiap keluar dari tempat itu saya merasa sedikit hampa. Saya tidak akan bohong kalau semua tempat itu memang menyenangkan. Indah dan berkilau.
Namun bagi seseorang yang sadar akan ketimpangan sebagai keprihatinan etis, agaknya dia akan merasa kurang nyaman berada di lingkungan hedonis. Tapi di sisi lain, justru karena fakta akan ketimpangan yang signifikan itu, tempat-tempat glamor dan barang-barang mewah semakin diminati sebagai upclassing, di mana masyarakat seolah-olah mengalami mobilitas sosial karena peningkatan penghasilan –yang ditunjukkan dengan peningkatan konsumsi atau pemilikan barang. Selera atau cita rasa segelintir orang akan barang terlahir dari struktur sosial dan dipertahankan untuk menegaskan status atau kedudukannya. Pierre Bourdieu mengistilahkannya sebagai habitus.

Senin, 07 Oktober 2019

Festival Film Jerman di Makassar

 

dok. pribadi


Festival film yang diadakan Goethe-Institut Indonesien, German Cinema, kembali dihelat tahun ini mulai tanggal 1-6 Oktober 2019. Untuk tahun ini, dalam rangka peringatan 30 Jahre Mauerfall atau 30 tahun runtuhnya Tembok Berlin, akan diputarkan beberapa film berlatar belakang kehidupan di Jerman Timur dan Barat pada Perang Dingin akan diputar, antara lain "Balloon" (2018) karya Michael “Bully” Herbig, ada juga "Gundermann" (2018) karya sutradara Andreas Dresen.


Karena selasa sampai jumat saya ada kerjaan, baru lah saya berencana berangkat hari sabtu. Tapi sayang hari sabtu kemarin saya telat kayaknya ga bakal keburu tiketnya. Jadilah saya hanya bisa datang di hari terakhir event bareng teman kuliah saya, namanya Ajir. Film terakhir dan satu-satunya yang saya nonton di Festival Film Jerman 2019 adalah Balloon (2018), film yang berkisah perihal usaha dua keluarga melarikan diri di tengah tekanan dan pengawasan negara dari Jerman Timur ke Jerman Barat, menggunakan balon terbang yang dirancang sendiri secara diam-diam.

Jumat, 05 Juli 2019

Film Pendek Frankenstein: Lahir adalah Satu Cara; Cara Kedua adalah Kematian




Film pendek Frankenstein diadaptasi dari novel karangan Mary Shelley saat usianya 18 tahun di Jenewa 1818. Proses lahirnya novel Frankenstein spontan namun bisa saja terinspirasi dari eksperimen serupa pada masa itu.

 

Cerita Frankenstein sendiri sudah dibuat dalam berbagai media dan versi. Ada komik dan film.  Salah satunya Victor Frankenstein (2015) yang diperankan Daniel Radcliffe dan James McAvoy. Film layar lebar ini tidak bisa lah saya bandingkan dengan film versi AG34.  

Kan mustahil James McAvoy saya banding-bandingkan dengan Ryan Athaillah.



Dr. Victor Frankenstein adalah nama si dokter ambisius itu sendiri meski nama Frankenstein juga sudah terlanjur melekat pada si monster buatan. Obsesi menghidupkan orang yang sudah meninggal, sebuah usaha melampaui takdir, menampik rasa sedih kehilangan, dan obsesi akan ilmu pengetahuan.

Tim AG34 memanfaatkan sekali ide cerita melalui narasinya. Karakter yang muncul di cerita asli Frankenstein karya Mary Shelley: adik dokter selaku asisten laboratorium (diperankan Wahyu Ramadhan), dan istri dokter (diperankan Rabiatul Adawiyah) dimunculkan alami, ga ada redundansi. Serta karakter yang saya duga adalah kembangan tim produksi AG34: Bong si pengamen (diperankan Heriadi). Bong adalah representasi dunia luar dan liar, yang merujuk pada buku asli, adalah esensi yang mengajarkan Frankenstein akan dunia kehidupan keduanya. Social class is a nature to live in.

Rabu, 10 Oktober 2018

Buku & Film: Aruna dan Lidahnya



Baru kali ini saya ke bioskop tapi penontonnya se-sepi ini. Hanya ada 5 orang di dalam studio, termasuk saya dan (sebut saja dia) Boy. Mungkin karena overshadowed dari film The Nun atau Something in Between? Ya memandangi Jefri Nichol menggoda, tapi Nicholas Saputra kan sayang banget dilewatkan~

Kebetulan sutradaranya Edwin, yang saat ini jadi favoritnya (sebut saja dia) Boy setelah dia nonton film Posesif. Dan film ini dikemas menarik oleh Edwin, menariknya film ini memakai teknik breaking-the-fourth-wall, di mana protagonis seolah berbicara langsung ke kamera/penonton. Seperti yang bisa dijumpai di film-film Warkop DKI. Teknik ini agak tricky karena bisa jadi melempem kalau tidak dieksekusi dengan baik. Tapi dalam Aruna dan Lidahnya, didukung Dian Sastro dan para cast yang lihai storytelling, teknik ini menjadi trik sulap yang membuat kita semua bisa merasakan kelezatan yang dirasakan karakternya. 



Saya sendiri menonton filmnya sebelum menyelesaikan novelnya Laksmi Pamuntjak. Karena novelnya terbilang kaya rasa (aslinya memang terasa padat), banyak terminologi buatan Laksmi dalam buku ini, sehingga saya mesti membaca dengan khidmat. Sayangnya saya lagi zibuk hehe (sibuk mulu).

Secara garis besar, film dan novel Aruna & Lidahnya bisa dibilang multi-tema, tapi fokus utamanya adalah kuliner (sepertinya). Ya sepertinya tema utamanya kuliner deh soalnya pekerjaan Aruna selaku ahli wabah di sini kesannya hanya tempelan, kita lebih digiring untuk menemani Aruna menikmati makanan.

Justru yang ‘kuliner banget’ dari film ini adalah pekerjaan Bono, sahabat Aruna yang merupakan chef dan ambisi Aruna mencari Nasi Goreng si mbok. Padahal penulis sudah membawa tema yang unik di belantika novel kiwari, seperti ahli wabah, flu unggas, plus segala institusi fiksi seperti Kementerian Mabura (Kemakmuran dan Kebugaran Rakyat). Meskipun begitu, kuliner dan romansa yang dihadirkan sebagai bahan baku dari cerita Aruna & Lidahnya, tetap tersaji menarik.

 

Menurut hemat saya, tidak terjadi konflik yang begitu berarti, bahkan saya pengen nanya konfliknya di bagian mana, tau-tau udah ‘resolusi’. Jujur ada sedikit kebimbangan menentukan konflik ceritanya, yang menjadi sorotan utama yang mana? Apakah kejanggalan kasus flu unggas dan birokrasi yang korup, ataukah keresahan hati Aruna akan perilaku Farish yang mendadak caper, atau nasi goreng si mbok. Mungkin akan lebih baik jika salah satu di antaranya difokuskan dan dikembangkan lagi. Meskipun konfliknya tidak terlalu terasa, overall film garapan Edwin dari cerita karya Laksmi Pamuntjak sukses memanjakan mata dan kelaparan saya, sekian.


Selasa, 31 Januari 2017

The Premier of The Fall of The Imam



Kami begitu deg-degan mengetahui bahwa The Fall of The Imam akan menjadi film yang pertama diputar di ELE 2017.


Meski filmnya diproduksi dengan amat sederhana (haha ayolah) tapi sebuah kesenangan dan kehormatan bagi kami bisa menyajikan film ini di hadapan ribuan penonton yang hadir di Auditorium kampus 2 UIN Alauddin Makassar. 

Rasanya setelah menunggu film ini akhirnya tayang, seperti sedang memendam kerinduan akan seseorang *ciaah apaan. 

Film the Fall of The Imam adalah film yang kami adaptasi dari novel karya seorang aktivis feminis mesir, Nawal El Saadawi dengan judul yang sama. Kalau dalam versi Indonesia, judulnya adalah Jatuhnya Sang Imam. 


Sinopsis:

Mundur beberapa tahun silam, ada sebuah kisah tentang seorang saleh, yang disegani dan dijadikan panutan di desa yang ia tinggali. Sebagai desa yang jauh dari peradaban kota, penduduk desa masih sangat tradisional dan menjunjung norma adat dan agama. Bagi penduduk desa, Sang Imam adalah pemimpin dan anjurannya sebagai titah. Termasuk aturan Sang Imam menjalankan tes keperawanan di desa agar penduduknya terhindar dari perbuatan zina.

Di desa yang sama, hidup seorang gadis remaja bersama ibu angkatnya, Zulaika. Tidak ada yang tahu siapa dan dimana orangtuanya. Oleh karenanya ia dinamakan Bintullah, yang artinya putri Tuhan. Siapa yang tahu, seorang gadis muda sepertinya bisa menjadi saksi dan bukti jatuhnya Sang Imam.


Para pemain: 

·        Fitrah Ahmady Amri sebagai Sang Imam
·        Dita sebagai Bintullah
·        Nurul Izmy sebagai Ibu Zulaikha
·        Taswin sebagai imam masjid
·        Andi Ahmad Zahri Nafis sebagai penulis besar
·        Muh Fachri Zulqadri sebagai eksekutor
·        Muhammad Guntur sebagai pengawal 1
·        Syarifuddin sebagai pengawal 2
·        Khaeran Sadri sebagai pengawal 3
·        Agia Linda Ratnasari sebagai istri pertama
·        Nurhidayatillah sebagai istri kedua
·        Ismi Faradhila sebagai istri ketiga
·        Makkawaru sebagai Kate (istri keempat)
·        Muh Yahya Rahman sebagai penghujat
Semua pemain dan figuran tentu saja dari kelas AG34.

Bukannya melankolis ya, tapi serius deh, melihat karya yang dibuat bersama-sama, membuat lega sekaligus terharu, terutama melihat respon penonton *tjiah
Kerja keras terbayarkan, semua kesulitan yang kami hadapi kemarin saat pembuatan film tidak ada apa-apanya dengan kelegaan ini. Huaah *peluk AG34 satu-persatu.

Penasaran dengan trailernya? Ini dia:


  


Oke jujur saja, film ini banyak banyak banyak kekurangannya entah itu dari segi audio, visual, dan segala macamnya. Tapi ada banyak pengalaman yang kami bisa jadikan pelajaran dari sejak itu. Secara cerita pun, ada nilai hidup yang bisa kalian ambil. Cukup itu aja sih.

Terakhir cuma mau bilang, terus berbahagia!

ELE 2017 dan Keriuhan yang Belum Reda



Aurelia-aurita-blog



Sampai berapa lama suatu peristiwa mampu bertahan menjadi bahan obrolan hangat yang seakan tidak ada habisnya untuk dibahas? Satu minggu? Dua Minggu? Entahlah. Hari ini adalah minggu ketiga pasca ELE dan sebelum keriuhannya benar-benar reda dan akhirnya menjadi kenangan pembuka tahun 2017, aku akan menuliskannya sedikit. Ya, sedikit dari banyak sekali cerita yang muncul berkat ELE.

Jadi tahun ini adalah giliran angkatanku untuk menjadi pelaksana Elexhibition. Elexhibition atau biasa juga kami sebut ELE merupakan singkatan dari English Literature Exhibition.

Meski sudah lewat dua minggu yang lalu, tepatnya tanggal 11-12 Januari tapi masih banyak rasa yang tertinggal di perhelatan tahunan anak jurusan Sastra Inggris UIN Alauddin Makassar ini, uhuyy. Oke mungkin bagi beberapa orang yang terlibat, iya seperti itulah.




Tema tahun ini adalah Islamorphosa. Setidaknya sampai dua minggu menjelang hari H. Jadi, saat beberapa bulan sebelumnya kami mengadakan rapat angkatan untuk menentukan tema kegiatan, ada beberapa usulan yang masuk, termasuk aku yang saat itu mengusulkan tema Islamorphosa ini. Sedihnya, banyak yang bingung dengan tema usulanku ini, bahkan saat voting, hanya 4 orang (doang) yang memberikan suara. Bahkan aku mendengar komentar semacam, "bisa gak usulnya jangan yang aneh-aneh begitu?"

And theeeen you know what? Di bulan terakhir persiapan ELE temanya diganti, dan Islamorphosa didapuk jadi tema tahun ini, huh apaan.





ELE bukan hanya pementasan yang wajib kami lakukan atas nama tugas akhir semester lima saja. ELE lebih dari itu. Meski pentasnya (hanya) 2 hari saja di bulan Januari, tapi persiapannya sendiri sudah sejak awal semester lima. Jadi kira-kira ada tiga bulan waktu kami untuk banting tulang mempersiapkan diri.

Panitia ELE terdiri dari perwakilan setiap kelas, sisanya pemain. Entah itu panitia atau bukan, masing-masing berjuang demi kesuksesan acara. 

Senin, 28 November 2016

The Making of The Fall of The Imam Movie



Setelah beberapa rapat yang cukup alot perihal menentukan waktu dan lokasi di mana AG34 (kelas kami) akan melakukan proses syuting film, akhirnya berhasil ditetapkan, kami akan berangkat Rabu, 23 November 2016 dan pulang tepat seminggu kemudian di hari Selasa, 29 November 2016. Lokasinya berpusat di satu tempat saja, yaitu Rammang-rammang, Kabupaten Maros.

Banyak pertimbangan dan perdebatan sebelum akhirnya kami memutuskan take film di sana. Salah satunya akomodasi 45 orang ke sana. Kelas kami bukan kelas yang ingin repot-repot menghadapi "masalah keuangan yang tidak mencukupi". Kami tidak ingin menyusahkan diri menghabiskan dana yang begitu banyaknya. Semester 5 masih panjang. Sehingga keputusan untuk take film di Kabupaten Maros kami rasa sudah tepat. 

Pembuatan film ini sendiri adalah pengalaman baru bagi sebagian besar dari kami. Sebagian kecilnya lagi, punya sedikit pengalaman dan gambaran tentang pembuatan film. 

Jumat, 09 September 2016

Hancurkan, Ralph!






Saya lagi bosan dan bete ya ampun brooo makanya saya berhasil menulis lagi setelah beberapa minggu blog ubur-ubur dianggurin. Oh jadi saya menulis cuma kalau lagi bosan doang? Oh jadi menulis di blog hanya opsi ke sekian sekian gitu? Ya, ya, judge me now.
Tapi tadi saya serius bilang lagi bete. Ah kapan sih Ekha lu gak bete? *ihhaa’       
Serius  lo ini.
Mau tau karena apa?          
Tanyain dong..        
Yah? yah?
Hening..
Dan emang gak penting ditanyakan.

Kita balik ke jalan yang benar ya, topik pembicaraan yang sebenarnya.
Baiklah, jadi begini ceritanya:
Pernah kah kalian, di suatu hari yang cerah, kalian menyadari, merenung, hal baik apa yang sudah kalian lakukan untuk orang lain. Apakah kalian cukup baik untuk diingat di setiap pembicaraan yang menyenangkan, atau cukup disayangkan bila tidak sempat hadir di suatu pertemuan. Apakah kalian ini sebakul nasi atau semangkuk acar?
Kemudian pikiran buruk itu datang. Kita merasa kurang baik, merasa tidak berguna, merasa terpinggirkan, lalu merasa harus menyalahkan hidup yang tidak adil.
Mungkin itulah yang dirasakan Ralph.
Ralph yang hidup dalam program game, Wreck It Ralph –err ralat, game Fix It Felix.
Ya, adalah Felix yang menjadi karakter utama game tersebut, bukan Ralph. Jadi ngapain namanya Ralph yang nampang di judul game itu.
Tapi Ralph-lah yang menjadi tokoh utama di film animasi besutan Disney, Wreck It Ralph, bukan Felix.
Ralph adalah lelaki tradisional yang lahir, besar, dan hidup di hutan. Badannya besar, sesuai dengan tangan besarnya yang kuat. Baginya, hutan adalah segalanya –segala kebahagian yang bisa kausebutkan, ibunya, kekasihnya, rumahnya, permatanya, dan pelindungnya.
Kita tahu, sesuatu yang tradisional harus selalu berusaha keras untuk bertahan. Bertahan di tengah gempuran modernisasi. Dan segera itulah yang harus diterima Ralph, saat hutan  diinvasi orang-orang kota. Sebuah apartemen dibangun di situ!